Minggu, 13 Januari 2013

Santi Tetanggaku, Mantan Ratu Wanita Malam


Kisahnya dimulai saat aku baru mulai bekerja dan tinggal di perumahan yang aku sewa, saat itu aku punya tetangga seorang wanita single parent dengan satu orang anak usia sekitar 10 tahunan. Santi, Sang Ibu berusia 32 tahun dan yang aku ketahui dia sedang tak punya pekerjaan untuk membiayai kehidupan keluarga kecilnya. Mungkin karena Ibu ini tetangga yang aku kenal dan sangat mungkin karena aku tertarik dengan kisah hidupnya, aku sering bertamu ke rumahnya tuk  mendengarkan kisah hidupnya dan terutama untuk  menawarkan beberapa batang Sampoerna Mild yang biasa aku hisap. Awalnya aku risih juga melihat seorang ibu yang mencandu rokok apalagi merokoknya di depan anaknya, tapi akhirnya aku kasian juga saat aku melihat dia menyalakan rokok yang diambilnya dari asbak dan sebelumnya ternyata dia sengaja menyisakannya untuk dia hisap kembali sebagai tindakan penghematan rokok yang dia lakukan. Berhemat bukan karena mau berhenti merokok tapi karena kondisi keuangannya yang memprihatinkan. Aku sengaja selalu meninggalkan bungkus rokokku yang masih tersisa beberapa batang jika aku pulang dari rumahnya.

Santi cerai dengan suaminya saat anaknya baru lahir, aku menduga pemicunya paling-paling soal ekonomi. Untuk menghidupi dirinya setelah cerai, Santi berusaha untuk mendapatkan pekerjaan yang menurutnya layak untuk lulusan SMA seperti dirinya. Sepertinya klasik, dia ditawari pekerjaan yang katanya penghasilannya lumayan bagus disebuah  diskotik sebagai pramusaji oleh seorang laki-laki yang dikenalnya. Santi sebenarnya merasa tertipu oleh laki-laki ini karena dari situlah akhirnya Santi menjalani kehidupannya sebagai wanita malam dengan semua atribut kelamnya. Tertipu atau tidak, tapi aku rasakan dari caranya bercerita sepertinya Santi cukup menikmati kehidupan masa lalunya. Dia bangga menjadi Ratu Diskotik bak “Sang Diva” yang penuh dengan persaingan dengan wanita-wanita cantik lainnya. Rumah yang sekarang ditempati merupakan hasil dari pekerjaannya tersebut. Aku kenal dengan Santi saat ia sudah berhenti dari profesinya karena memang sudah afkir dan dianggap sudah terlalu uzur. Sesekali memang masih ada pelanggan setianya yang datang ke rumah.

Di ruang tamunya tempat kami biasa berbincang dan menghembuskan asap rokok yang membuat suasana menjadi pengap, tak ada sedikitpun kerling mata nakal Santi terhadapku. Ia sepertinya mengerti kalau aku memang bukan calon langgannya yang potensial. Ternyata mantan “Pelacur” sekalipun hanyalah manusia biasa yang masih punya sopan santun tidak sembarangan menggoda laki-laki yang ada di depannya. Setelah huhisap dalam-dalam dan kuhembuskan asap rokokku perlahan, sebuah pertanyaan meluncur dari mulutku, “Saat ini, setelah semua yang Mba’ lalui, adakah Mba’ pernah menyesal dengan yang Mba’ lakukan?” Aku hanya tersenyum getir saat Santi menjawab pertanyaan bodohku tersebut, “Aku sangat menyesal, seandainya saja aku tahu betapa gampangnya mencari duit dengan jalan seperti itu, tentu aku akan melakukannya sejak umurku masih belasan tahun, aku masuk sudah berusia 25 tahun dan sudah sangat terlambat”. 

2 komentar: