Sabtu, 09 Februari 2013

Tulinya Sang Sufi Hatim Al Ashamm

Syeh Sufi yang satu ini bernama lengkap Abu Abdur Rahman Hatim bin Unwan Al Ashamm. Hatim (Tuli) disematkan dalam namanya sebagai  bentuk penghargaan kepada Beliau bukan karena ejekan ataupun karena tuli benaran. Dikisahkan bahwa suatu ketika Sang Sufi kedatangan seorang wanita bangsawan yang hendak berkonsultasi dengan beliau tentang suatu permasalahan agama. Menghadapi seorang ulama kenamaan tentulah si wanita bangsawan ini sangat menjaga tata krama dengan segala etika kebangsawanannya. Namun apalah lacur, saat tengah asik bertanya jawab dengan Sang Sufi, terdengar suara "tiut, tut, tuuuuutttt". Muka si wanita tentulah merah padam karena barusan dengan tanpa sengaja dan tak terduga telah buang angin (kentut) dengan suara yang sangat nyaring di hadapan Sang Sufi. Tentulah Sang sufi ini sudah bisa menerka bahwa ia telah kentut karena di tempat tersebut hanya ada mereka berdua, pikir si wanita. Oh my God, betapa malunya. "Coba lebih keras lagi", kata Sang Sufi dengan raut muka yang tak berubah dan nampak biasa saja. "Yaa coba kau ulangi pertanyaanmu dengan suara yang lebih keras lagi, karena aku tak mendengar suaramu". Diulangnyalah pertanyaan tadi oleh si wanita dengan suara yang lebih keras dari sebelumnya. Namun Sang Sufi tetap menjawabnya dengan, "Berbicaralah dengan lebih keras, pendengaranku kurang tajam". Aha, Sang Sufi rupanya agak-agak tuli, jangankan suara kentutku, pertanyaanku saja yang telah kuperdengarkan dengan setengah berteriak ia tak bisa mendengarnya, "Syukur Ya Tuhan". Legalah Si wanita bangsawan ini karena ia pikir Sang Sufi tak mungkin telah mendengar kentutnya sehingga ia tak perlu lagi merasa malu di depan orang yang mulia tersebut. Setelah si wanita mengulang-ulang lagi pertanyaannya dengan suara yang lebih keras lagi, barulah Sang Sufi berlagak telah mendengar, "Naaa begitu, sekarang baru terdengar suaramu."
\
Sang Sufi yang sudah terbiasa dengan olah rasa dan kebijaksanaan telah mendarah daging dalam tubuhnya, rupanya sangat memahami rasa malu dari seorang wanita yang ada dihadapannya. "Ketulian" Sang Sufi terus berlanjut dan tidak berhenti setelah  kejadian dengan si wanita tadi. Setiap berdialog dengan orang lain, Sang Sufi selalu berpura-pura tuli dan mengatakan, "bicaralah dengan lebih keras" kepada lawan bicaranya. Hal ini Beliau lakukan untuk menjaga perasaan dari Wanita bangsawan tadi yang telah kentut di hadapannya. Barulah setelah si wanita tadi meninggal dunia, Sang Sufi berhenti dari berpura-pura tuli yang telah ia jalani selama hampir 15 tahun lamanya. Itulah sebabnya nama Hatim melekat kepada beliau sebagai bentuk penghormatan.

Kamis, 07 Februari 2013

Antara Tuan dan Kami


Kami yang hanya bisa mengiba
Kami yang biasa meminta dan mengeluh
Kami jugalah yang biasa mencuri
Itu semua karna kami jelata

tak usahlah resah dengan nasib kami
Tikamlah kami atas nama keadilan
Biarpun itu hanya karna 5 biji Pala yang kami curi
Toh kami tak akan sakit ataupun mati
Karna kulit kami tak lagi bisa rasakan nyeri

Ooh ksatria di antara ksatria yang terpilih
Jika Tuan bersifat seperti Kami
Tiap saat hanya bisa merintih
Apalah bedanya antara Tuan dan Kami

Tak usahlah Tuan berteriak lantang
Tanpa Tuan berbisik pun Kami dapat mendengar
Indera kami memang telah mati
Tapi tidak untuk hati kami

Selasa, 05 Februari 2013

Dari Amalilah Menuju Jalan Lain ke Togel


Beberapa tahun silam, santer terdengar berita di TV tentang penipuan yang dilakukan oleh Yayasan Amalilah. Modusnya sederhana, menarik uang 20 ribu rupiah untuk pemesanan 1 buah kupon yang nantinya bisa ditukar dengan uang 15 juta rupiah. Anda tak tertarik bukan? Tapi tak semua orang di Negeri yang berpenduduk sekitar 250 juta ini berpikiran dan sepaham dengan Anda. Di Dunia Maya pun ramai bermunculan blog ataupun forum yang pro dan kontra dalam menanggapi hal ini.
Di satu sudut negeri yang waktu itu belum bisa mengakses internet, TV hanya terdengar sayup menyelingi suara serangga malam. Mimpi indah dan janji yang dihembuskan oleh “Amalilah” memakan banyak korban dan mengantar korbannya ketahap rasa malas stadium lanjut. Rutinitas warga yang biasanya hampir tiap hari mendayung perahu dan menebar jala untuk mencari sumber penghidupan, sesaat tak nampak jika Hari-H yang dijanjikan untuk pencairan dana dari “Amalilah” akan tiba. Obrolan malam haripun tak jauh dari tema tentang bagaimana kami  akan menghabiskan uang milyaran rupiah yang sebentar lagi akan kami dapatkan. Milyaran rupiah? Bukannya hanya 15 juta? 15 juta kalau hanya 1 kupon, bagaimana kalau punya ratusan kupon atau bahkan ribuan kupon. Kami di sini cukup pandai juga dalam berhitung terutama dalam perkalian 1000 kupon x Rp 15 juta = Rp 15 milyar. Lantas dari mana uang 15 juta untuk membeli 1000 kupon tsb? Ada yang menjual perahu, menggunakan uang simpanan, menjual perhiasan emasnya, macam-macamlah caranya. Rasa enggan pun menghinggap  untuk menjalani hari-hari dengan dengan normal bila Hari-H yang dijanjikan telah lewat. Bermacam alasan yang diperdengarkan mengenai penundaan Hari-H. Kejadian ini berulang terus seperti siklus triwulanan dan terjadi menahun.
Memendar sudah harapan mendapat belas kasih dari “Ningrat Amalilah” bukan berarti kami bisa melepas angan begitu saja untuk bisa menjadi kaya mendadak tanpa harus bercucuran keringat. Angin surga pun masih semilir dihembuskan oleh Azazil dari relung-relung kegelapan dalam bentuk judi Togel. Entah dari mana munculnya kitab sakti yang berisi rumus matematika keblinger dengan angka-angka ajaibnya bisa beredar di tangan kami dan menjadi wajib hukumnya untuk dikaji tiap malam. Jelas sudah kami tak kuasai Probabilitas dan seluk beluknya, faktanya kami yang selalu menjadi pecundang dari mulai Erek-Erek, SDSB, sampai sekarang kami kenal Togel.
“Jual saja angan-angan kosong! Pasti kami beli.”