Jumat, 20 Februari 2015

Sanggahan Terhadap Spekulasi "Borobudur Peninggalan Nabi Sulaeman"



Teori BAPNS memang menarik, terutama kaitan angka-angka matematis borobudur dengan angka di Ayat-ayat suci Al-Qur’an. Apakah ini suatu kebetulan ataukah memang para arsitek borobudur bekerja dengan angka-angka magis? Apapun jawabannya, Untuk mengatakan bahwa “Candi Borobudur adalah peninggalan Nabi Sulaiman” rasanya sama saja seperti “Bangunan piramida suku Maya atau Aztec adalah peninggalan Peradaban Mesir”. Terpaut jarak dan zaman yang jauh di antara keduanya.

Fakta sejarah: Sulaeman adalah seorang Nabi & Raja dari Bani Israel di Timur Tengah sana yang diperkirakan hidup sekitar tahun 1000 SM. Pada saat itu sangat mungkin nenek moyang orang Jawa belum ada di Pulau Jawa. Kalaupun sudah ada, mereka baru datang dan belum mampu mendirikan peradaban dan belum memasuki jaman Sejarah. Borobudur sendiri dibangun pada masa Kerajaan Mataram Kuno oleh Dinasti Syaelendra (Nenek moyangnya Ratu Boko) pada sekitar tahun 800 atau 900  Masehi.

Logikanya: Jika Borobudur adalah peninggalan Nabi Sulaeman maka Nabi Sulaeman haruslah Orang Jawa dan bukan dari Bani Israel. Atau paling tidak, kerajaan yang dipimpin oleh Nabi Sulaeman bukanlah kerajaan Yahudi di Timur Tengah melainkan harus sebuah kerajaan di Pulau Jawa dan pada waktu 1 millenium SM. Faktanya, bukti-bukti sejarah tidak mengatakan hal-hal seperti itu.
Relief di dinding-dinding Borobudur yang konon mengisahkan Nabi Sulaeman & Ratu Seba (anggap hal ini benar), tidak serta merta bisa dijadikan claim bahwa Borobudur dari jamannya atau bahkan peninggalannya Nabi Sulaeman. Semisal saat ini saya menulis sebuah buku tentang Kisah Nabi Sulaeman, lalu beberapa puluh tahun kemudian cucu buyutku mengklaim bahwa buku warisan yang dia pegang adalah buku dari jamannya Nabi Sulaeman (bahkan mengclaim bahwa buku tersebut peninggalan atau warisan dari Nabi Sulaeman), hanya gara-gara isi buku tersebut menceritakan kisah tentang Nabi Sulaeman.

Kaitan dengan angka-angka magis, Orang Jawa memang ahlinya dalam hal ini. Apa yang tidak di itang-itung oleh orang Jawa. Mau nikah, cari rejeki, dll hitung dulu hari baiknya, hitung dulu jam berapa keluar rumahnya, dan tetek bengek lainnya. Bisa dibayangkan bagaimana Nenek Moyang di jaman dulu membangun proyek sebesar Borobudur, tentu mereka akan melakukan perhitungan-perhitungan dengan sangat teliti dengan ilmu mereka. Penulis (kebetulan Jawa), membayangkan jika hidup di jaman itu dan berperan sebagai arsitek Borobudur, sebelum pembangunan tentu saja membuat cetak biru dan melakukan kalkulasi2 berdasarkan ilmu-ilmu hitung saat itu, dan sangat mungkin melakukan semedi untuk mendapatkan wangsit dari Yang Maha Tahu. Sebagai umat muslim yang hidup di jaman sekarang ini, tentu saja penulis mengklaim bahwa Agama yang benar adalah yang dirisalahkan oleh Nabi Muhammad SAW. Tapi coba bayangkan jika kita hidup di jaman yang Risalah Islam belum sampai terdengar atau di jaman belum adanya Risalah yang disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW dan kita juga bukan dari Bani Israel melainkan Suku Jawa, pada saat seperti itu, “jalan yang Lurus” berasal dari mana? Nabi yang mana yang aku ikuti jalannya? 

25 Rasul yang wajib diketahui kesemuanya berasal dari Timur Tengah dan sebain besar berasal dari Bangsa Israel. Sebelum risalah kenabian ditutup oleh Nabi Muhammad SAW, apakah “Berserah diri dan Jalan yang Lurus” hanya dimiliki oleh Bangsa Israel yang jumlahnya hanya sedikit bila dibandingkan dengan Bangsa-Bangsa lain di muka bumi ini? Rasanya hal itu tidak mungkin bila mengingat betapa luasnya Rahmat Allah SWT. “Dan tidak satu pun Makhluk bergerak (bernyawa) di bumi melainkan semuanya dijamin Allah rezekinya” (QS Hud, 11:6). Tuhan yang bahkan menjamin rejeki semua mahluk dan yang memiliki 99 Asmaul Husna, rasanya sangat mustahil jika hanya memberi jalan yang lurus (kebenaran) tersebut hanya kepada satu bangsa yaitu Israel. Dalam Ayat yang lain “Dan setiap umat (mempunyai) Rasul. Maka apabila Rasul mereka telah datang, diberlakukanlah hukum bagi mereka dengan adil dan (sedikitpun) tidak dizalimi.” (QS Yunus 10:47).
Penulis bukan berarti ingin mengatakan bahwa Sidharta Gautama adalah seorang Nabi yang ajarannya membentang dari India, Cina, Kambodia bahkan sampai ke Nusantara. Hal ini tentu saja perlu kajian yang lebih komprehensif lagi. Penulis hanya mencoba salah satu kemungkinan atau pengandaian, “Bilamana Sidharta Gautama memang salah seorang Rasul buat beberapa Bangsa di luar Bangsa Israel”, maka ajaran Buddha merupakan salah satu “jalan yang lurus untuk berserah diri” sampai datangnya Risalah yang disampaikan oleh Muhammad SAW. Urusan ajaran tersebut terdistorsi oleh karena penyebarannya yang luas dan dalam selang waktu yang panjang, itu soal lain. Berangkat dari pengandaian ini, dengan cara-cara yang diyaqini kebenarannya oleh nenek moyang kita, bukankah bisa saja mereka mendapatkan pencerahan dan pengetahuan tentang kebenaran? Apalagi jika hanya tentang angka-angka magis dalam bangunan Borobudur.