Sabtu, 09 Februari 2013

Tulinya Sang Sufi Hatim Al Ashamm

Syeh Sufi yang satu ini bernama lengkap Abu Abdur Rahman Hatim bin Unwan Al Ashamm. Hatim (Tuli) disematkan dalam namanya sebagai  bentuk penghargaan kepada Beliau bukan karena ejekan ataupun karena tuli benaran. Dikisahkan bahwa suatu ketika Sang Sufi kedatangan seorang wanita bangsawan yang hendak berkonsultasi dengan beliau tentang suatu permasalahan agama. Menghadapi seorang ulama kenamaan tentulah si wanita bangsawan ini sangat menjaga tata krama dengan segala etika kebangsawanannya. Namun apalah lacur, saat tengah asik bertanya jawab dengan Sang Sufi, terdengar suara "tiut, tut, tuuuuutttt". Muka si wanita tentulah merah padam karena barusan dengan tanpa sengaja dan tak terduga telah buang angin (kentut) dengan suara yang sangat nyaring di hadapan Sang Sufi. Tentulah Sang sufi ini sudah bisa menerka bahwa ia telah kentut karena di tempat tersebut hanya ada mereka berdua, pikir si wanita. Oh my God, betapa malunya. "Coba lebih keras lagi", kata Sang Sufi dengan raut muka yang tak berubah dan nampak biasa saja. "Yaa coba kau ulangi pertanyaanmu dengan suara yang lebih keras lagi, karena aku tak mendengar suaramu". Diulangnyalah pertanyaan tadi oleh si wanita dengan suara yang lebih keras dari sebelumnya. Namun Sang Sufi tetap menjawabnya dengan, "Berbicaralah dengan lebih keras, pendengaranku kurang tajam". Aha, Sang Sufi rupanya agak-agak tuli, jangankan suara kentutku, pertanyaanku saja yang telah kuperdengarkan dengan setengah berteriak ia tak bisa mendengarnya, "Syukur Ya Tuhan". Legalah Si wanita bangsawan ini karena ia pikir Sang Sufi tak mungkin telah mendengar kentutnya sehingga ia tak perlu lagi merasa malu di depan orang yang mulia tersebut. Setelah si wanita mengulang-ulang lagi pertanyaannya dengan suara yang lebih keras lagi, barulah Sang Sufi berlagak telah mendengar, "Naaa begitu, sekarang baru terdengar suaramu."
\
Sang Sufi yang sudah terbiasa dengan olah rasa dan kebijaksanaan telah mendarah daging dalam tubuhnya, rupanya sangat memahami rasa malu dari seorang wanita yang ada dihadapannya. "Ketulian" Sang Sufi terus berlanjut dan tidak berhenti setelah  kejadian dengan si wanita tadi. Setiap berdialog dengan orang lain, Sang Sufi selalu berpura-pura tuli dan mengatakan, "bicaralah dengan lebih keras" kepada lawan bicaranya. Hal ini Beliau lakukan untuk menjaga perasaan dari Wanita bangsawan tadi yang telah kentut di hadapannya. Barulah setelah si wanita tadi meninggal dunia, Sang Sufi berhenti dari berpura-pura tuli yang telah ia jalani selama hampir 15 tahun lamanya. Itulah sebabnya nama Hatim melekat kepada beliau sebagai bentuk penghormatan.

Kamis, 07 Februari 2013

Antara Tuan dan Kami


Kami yang hanya bisa mengiba
Kami yang biasa meminta dan mengeluh
Kami jugalah yang biasa mencuri
Itu semua karna kami jelata

tak usahlah resah dengan nasib kami
Tikamlah kami atas nama keadilan
Biarpun itu hanya karna 5 biji Pala yang kami curi
Toh kami tak akan sakit ataupun mati
Karna kulit kami tak lagi bisa rasakan nyeri

Ooh ksatria di antara ksatria yang terpilih
Jika Tuan bersifat seperti Kami
Tiap saat hanya bisa merintih
Apalah bedanya antara Tuan dan Kami

Tak usahlah Tuan berteriak lantang
Tanpa Tuan berbisik pun Kami dapat mendengar
Indera kami memang telah mati
Tapi tidak untuk hati kami

Selasa, 05 Februari 2013

Dari Amalilah Menuju Jalan Lain ke Togel


Beberapa tahun silam, santer terdengar berita di TV tentang penipuan yang dilakukan oleh Yayasan Amalilah. Modusnya sederhana, menarik uang 20 ribu rupiah untuk pemesanan 1 buah kupon yang nantinya bisa ditukar dengan uang 15 juta rupiah. Anda tak tertarik bukan? Tapi tak semua orang di Negeri yang berpenduduk sekitar 250 juta ini berpikiran dan sepaham dengan Anda. Di Dunia Maya pun ramai bermunculan blog ataupun forum yang pro dan kontra dalam menanggapi hal ini.
Di satu sudut negeri yang waktu itu belum bisa mengakses internet, TV hanya terdengar sayup menyelingi suara serangga malam. Mimpi indah dan janji yang dihembuskan oleh “Amalilah” memakan banyak korban dan mengantar korbannya ketahap rasa malas stadium lanjut. Rutinitas warga yang biasanya hampir tiap hari mendayung perahu dan menebar jala untuk mencari sumber penghidupan, sesaat tak nampak jika Hari-H yang dijanjikan untuk pencairan dana dari “Amalilah” akan tiba. Obrolan malam haripun tak jauh dari tema tentang bagaimana kami  akan menghabiskan uang milyaran rupiah yang sebentar lagi akan kami dapatkan. Milyaran rupiah? Bukannya hanya 15 juta? 15 juta kalau hanya 1 kupon, bagaimana kalau punya ratusan kupon atau bahkan ribuan kupon. Kami di sini cukup pandai juga dalam berhitung terutama dalam perkalian 1000 kupon x Rp 15 juta = Rp 15 milyar. Lantas dari mana uang 15 juta untuk membeli 1000 kupon tsb? Ada yang menjual perahu, menggunakan uang simpanan, menjual perhiasan emasnya, macam-macamlah caranya. Rasa enggan pun menghinggap  untuk menjalani hari-hari dengan dengan normal bila Hari-H yang dijanjikan telah lewat. Bermacam alasan yang diperdengarkan mengenai penundaan Hari-H. Kejadian ini berulang terus seperti siklus triwulanan dan terjadi menahun.
Memendar sudah harapan mendapat belas kasih dari “Ningrat Amalilah” bukan berarti kami bisa melepas angan begitu saja untuk bisa menjadi kaya mendadak tanpa harus bercucuran keringat. Angin surga pun masih semilir dihembuskan oleh Azazil dari relung-relung kegelapan dalam bentuk judi Togel. Entah dari mana munculnya kitab sakti yang berisi rumus matematika keblinger dengan angka-angka ajaibnya bisa beredar di tangan kami dan menjadi wajib hukumnya untuk dikaji tiap malam. Jelas sudah kami tak kuasai Probabilitas dan seluk beluknya, faktanya kami yang selalu menjadi pecundang dari mulai Erek-Erek, SDSB, sampai sekarang kami kenal Togel.
“Jual saja angan-angan kosong! Pasti kami beli.”

Kamis, 31 Januari 2013

Bang Udin dan Tujuh Ekor Anak Ayam


Bang Udin hanyalah seorang Pamong Desa yang sederhana di salah satu sudut negeri yang luas ini. Anak-anak kampung utamanya Remaja Masjid menjuluki  Bang Udin dengan panggilan Syekhul Ayam. Sebuah julukan yang selalu menimbulkan tanya bagi yang belum mengetahui kisahnya.
Sebagai Pamong Desa yang rajin, Bang Udin selalu kebagian kerjaan (orderan) dari masyarakat yang memang membutuhkan jasanya. Buat KTP, Surat Pengantar Nikah, Surat Keterangan Tidak Mampu bahkan sampai Surat Keterangan Kematian, datangi saja Bang Udin dan semuanya pasti beres. Istilah yang tak asing didengar oleh warga kampung dan dinisbatkan kepada Bang Udin tak lain dari perkataan, “Mau cara reguler atau cara ONH Plus?” Sederet kalimat yang selalu dilontarkan oleh Bang Udin kepada warga kampung yang sedang membutuhkan pelayanannya. Yang sudah pernah buat KTP, pasti sudah pernah  mendengar pertanyaan seperti itu dari Mulut Bang Udin. Kalau milih cara reguler tentu biayanya murah tapi lama, prosesnya sesuai prosedur yang berlaku. Kalau milih ONH Plus, cepat  dengan pelayanan super prima tanpa peduli prosedur tapi tentu dengan tambahan biaya yang tak ada hitam di atas putihnya.
Warga kampung yang memang ramah dan penuh pengertian, sebenarnya tak terlalu risau ataupun keberatan dengan pelayanan yang dilakukan oleh Bang Udin. Mereka mengerti bahwa gaji Bang Udin yang hanya bekisar 500 ribu rupiah tentu tak mencukupi untuk standar hidup layak keluarganya. Lagi pula Bang Udin selalu memberikan opsi kepada orang-orang yang memerlukan jasanya tersebut. Bang Udin tak pernah maksa dengan pasang tarif yang tak masuk diakal. Tak pernah menuntut untuk diberi “Apel Washington” apalagi minta disediakan “wanita yang kulitnya putih”.
Suatu harinya dalam rutinitas seperti biasa, Bang Udin pulang kerja dengan muka muram durja, rupanya dia kesal di hari itu semua orderan yang biasanya dia tangani diambil alih semuanya oleh Kepala Desa dan dia beserta teman-teman Pamong lainnya tak kebagian fee sepeserpun. Dari hulu sampai hilir semuanya diambil, begitulah kira-kira yang digerutukan oleh Bang Udin atas sikap atasannya. Tanpa melepas baju dinas kebanggaanya terlebih dahulu, untuk menghilangkan “stress” Bang Udin mengambil segenggam raskin, dia berniat memberi makan ayam-ayam kesayangannya. Tujuh ekor ayam muda yang kesemuanya jantan dan memiliki bulu-bulu yang indah. Ayam Bang Udin memang bukan Ayam biasa, turunan dari bibit unggul Ras Philiphin. Bang Udin memelihara ayam tersebut saat tetangganya yang hobi sabung ayam memberikan anak-anak ayam tersebut untuk dipeliharanya walau sebatas untuk kesenangan saja. Pada akhirnya memang Bang Udin menyenangi kegiatannya memelihara ayam-ayam tersebut, “untuk menghilangkan stress,” katanya.
Hari itu berbeda seperti hari-hari lainnya, mungkin karena suasana hati Bang Udin yang sedang galau gulana. Seperti biasa sih, ayam-ayam kalau diberi makan oleh Bang Udin tentu berebut saling patuk biarpun sesama teman sepermainan dan saudaranya. “Sssttt, ssssttt, tenang aja raskinku masih cukup banyak untuk memberi makan kalian semua”, tetap aja ayam-ayam tersebut masih berebutan bahkan sampai ada yang saling petitiran menunjukkan kejantanannya. Hahahaha, Bang Udin sontak tertawa melihat tingkah laku ayam-ayamnya, Dia membayangkan dirinya seperti ayam-ayam miliknya yang selalu berebut pakan bahkan sampai berdarah-darah padahal yang empunya ayam tak kekurangan raskin untuk dicurahkan bahkan sampai sebulan yang akan datang. “Bukankah Tuhanku juga sangat kaya untuk membagi rezeki kepada seluruh penduduk bumi?”
Setelah kejadian Bang Udin dengan tujuh ekor ayamnya, tak pernah lagi terdengar kalimat “Mau cara reguler atau cara ONH Plus?” dari mulut Bang Udin. “Seandainya para Pemimpin dan Orang-Orang Terhormat, Yang Mulia, dsb di Negeri ini memelihara anak-anak ayam, tentu mereka bisa melakukan pelayanan dengan sepenuh hati tanpa harus korupsi.” Sebuah kesimpulan aneh yang sekarang sering didengar dari mulutnya Bang Udin. Tak anehkan jika pada akhirnya Bang Udin dijuluki Syekhul Ayam oleh anak-anak remaja masjid di kampungnya?

Rabu, 30 Januari 2013

Tiga Akhlak dalam Pergaulan Sehari-Hari

Interaksi kita dalam kehidupan sehari-hari tentu tidak bisa lepas dari pergaulan dengan sesama manusia, bisa dengan keluarga & sanak kerabat, tetangga, rekan kerja dan orang-orang lainnya yang kita temui. Dalam interaksi tersebut ada kewajiban dan hak-hak setiap individu yang harus kita hormati, dimana hak-hak kita atas orang lain tentu dibatasi pula oleh kewajiban-kewajiban yang harus kita penuhi terhadap orang-orang di sekitar kita. Akan terjadi keseimbangan dan keselarasan dalam berinteraksi dalam pergaulan sehari-hari jika setiap individu memahami kewajiban dan hak-haknya masing-masing. 

Dalam buku "Panduan Lengkap Menuntut Ilmu" terjemahan dari Kitaabul Ilmi karya Fadhilatul 'Allamah asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin, diterangkan bahwa tiga ahklak yang baik dalam pergaulan terhadap sesama manusia adalah:
  • Tidak Mengganggu (Tidak Menyakiti)
  • Bersikap Dermawan
  • Bersikap Ramah
  1. Tidak Mengganggu diartikan sebagai menahan diri kita untuk tidak mengganggu orang lain berkaitan dengan harta, jiwa, ataupun kehormatannya. Semakin besar hak orang lain atas diri kita, maka semakin besar pula dosa kita jika kita menyakiti mereka. Berbuat jahat kepada kerabat lebih besar dosanya daripada berbuat jahat kepada orang yang jauh. Berbuat jahat kepada tetangga lebih besar dosanya dari pada berbuat jahat kepada orang yang bukan tetangga. Hal ini dapat kita maklumi, bukankah jika kita melihat berita hari ini tentang seorang anak yang dianiyaya oleh orang tuanya, kita mempertanyakan perbuatan tersebut dengan terheran-heran, "koq bisa-bisanya orang tua yang seharusnya melindungi buah hatinya justru menjadi pelaku penganiyayaan terhadap anaknya sendiri?". Orang-orang di sekitar kita tentu mempunyai lebih banyak hak atas diri kita jika dibandingkan dengan orang-orang yang jauh dari kita.                                                                                                    Dalam riwayat Muslim:                                                                                                                     لا يدخل الجنة من لا يأمن جاره بوائقه
  2. Dermawan, bukan hanya tentang harta tetapi dalam arti lebih luas berarti membantu orang lain dalam mencapai tujuannya. Menyebarkan ilmu dan memaafkan juga tergolong sebagai kedermawanan.     Allah SWT berfirman tentang ahli surga (Ali Imran: 134): "Orang-orang yang berinfak baik dalam keadaan senang ataupun susah, orang-orang yang mampu menahan marah, dan orang-orang yang suka memaafkan manusia. Dan Allah mencintai orangorang yang berbuat kebaikan."
  3. Bersikap Ramah, 

Senin, 28 Januari 2013

Islam dan Ilmu Pengetahuan


Zaman dimana sebelum datangnya Islam, disebut sebagai zaman jahiliyah atau boleh disebut sebagai zaman kegelapan ataupun zaman kebodohan. Suatu zaman yang tak diterangi oleh ilmu pengetahuan, bukan hanya di Semenanjung Arab tapi di seluruh muka bumi saat itu ilmu pengetahuan berada pada titik nadirnya. Faktanya pada abad-abad tersebut sangat sulit ditemukan para Alim Cendikiawan yang dengan ilmunya bisa memberikan pencerahan kepada umat manusia. Bisakah Anda menyebutkan satu nama cendikiawan yang mengemuka antara abad ke-3 M sampai masa datangnya Islam? Agak sulit bukan untuk menjawabnya? Para Filsuf Cina seperti Laotse dan Konfusius atau Sidartha Gautama “Sang Pencerah” dari India juga tentu saja Phytagoras, Plato, Aristoteles dan Cendikiawan lainnya dari Yunani, zaman mereka telah berlalu berabad sebelum datangnya Islam. Pusat-pusat peradaban seperti Persia dan Byzantium yang saat itu menjadi dua Bangsa Adi daya, tak memunculkan sekalipun hanya satu orang cerdik pandai. Lembaran-lembaran yang menorehkan majunya logika Yunani hanya tersimpan di perpustakaan Alexandria dan terancam usang sampai nanti akhirnya terselamatkan saat Umat Muslim melakukan penterjemahan secara masiv terhadap lembaran-lembaran yang berisi ilmu pengetahuan tersebut. Pesatnya eksplorasi ilmu pengetahuan oleh Umat Muslim tidak hanya berlaku terhadap obyek-obyek pengetahuan dari Bangsa Yunani. Umat Muslim juga gencar mengeksplorasi ilmu pengetahuan dari Bangsa Cina (seperti pembuatan kertas, bubuk mesiu, dll) dan ilmu pengetahuan dari Bangsa India (seperti Astronomi dan Matematika).

Singkat cerita, yang ada hanyalah kesuraman yang melingkupi peradaban dunia di masa-masa sebelum datangnya  Islam. Di tilik dari satu sudut pandang ini saja, Islam betul-betul Rahmat untuk peradaban manusia, lebih luasnya tentu saja rahmatan lil ‘alamin. Islam sebagai sebuah Agama yang lahir 14 abad yang lalu, begitu memberi apresiasi yang sangat besar dan mendorong pemeluknya untuk terus mengeksplorasi ilmu pengetahuan.
Agama dengan ayat pertama yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad adalah:  
خلق  الذى  ربك اقرأ باسم
 “Bacalah atas nama Tuhanmu yang telah menciptakan.” (Qur’an, 96:1)

“Siapa yang menitih jalan pencarian ilmu pengetahuan, Allah akan membuka baginya jalan menuju surga.” (Abu Khaithama, al-‘Ilm, hadits no.25).

Hadits di atas menerangkan dengan jelas bahwa surga adalah balasan untuk seorang Mukmin yang memilih hidup di jalan pencarian terhadap ilmu pengetahuan. Ada banyak lagi hadits-hadits lainnya yang mengisyaratkan betapa Umat Muslim diberi motivasi lebih untuk menggapai dan memungut hikmah pengetahuan yang terserak di muka bumi. Ada sebuah kisah yang cukup menarik akan hal ini, Setelah kemenangan Nabi Muhammad SAW dan para Sahabatnya di perang Badr. Umat Muslim saat itu mempunyai beberapa tawanan dan lazimnya saat itu bahwa tawanan bisa ditebus dengan harta benda, tetapi ada beberapa tawanan yang bisa baca tulis dapat menebus kebebasannya dengan cara mengajari baca tulis kepada anak-anak Muslim di Madinah. Ilmu Baca Tulis untuk saat itu tentu saja sebuah pengetahuan yang masih jarang dimiliki oleh orang-orang pada saat itu dan merupakan suatu kelebihan tersendiri bagi yang menguasainya.

Abad-abad selanjutnya seiring dengan meluasnya pengaruh Islam, ilmu pengetahuanpun bersemi di muka bumi ini. Umat Muslim berada di zaman yang diterangi oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah, dua sumber cahaya yang akan menerangi peradaban Umat selama dua warisan dari Nabi tersebut tetap teguh di pegang, dikaji dan terpatri di hati pemeluk Agama Islam yang menjadi rahmatan lil ‘alamin.  

Senin, 21 Januari 2013

Imam Al-Ghazali

Beliau dilahirkan di Thabrani distrik Thusi Khurasan pada tahun 450 H (1058 M) dan wafat di daerah asalnya pada tahun 505 H (1111 M). Al-Ghazali dikenal sebagai  Cendikiawan Muslim, praktisi pendidikan di dunia Muslim, dan juga seorang Sufi. Karya yang dihasilkan oleh Al-Ghazali hampir sekitar 400 judul buku meliputi Teologi, Fikih, logika, Filsafat, Tasawuf, Tafsir, dan berbagai ilmu pengetahuan lainnya.   

Ihya Ulumiddin adalah adi karya Sang Imam, sebuah kitab tentang syariat dan tasawuf. Lewat kitab ini Sang Imam "mendamaikan syariat dengan tasawuf". Di pengantar Ihya Ulumiddin  Sang Imam seperti sedang mengajak dialog dengan orang-orang sejamannya karena kekacaubalauan mereka dalam memahami kebenaran Agama. Di masa itu Umat Islam secara materi berada dalam puncak kejayaan tetapi sekaligus juga dibutakan oleh silaunya kilauan dunia. Pengetahuan Umat tentang Agama menjadi simpang-siur karena dibingungkan oleh banyaknya aliran-aliran filsafat, agama, dan logika yang akhirnya menumbuhkan banyak perdebatan dan perselisihan di kalangan Umat. Di sinilah Sang Imam berperan sebagai pembela kebenaran Islam dan berusaha untuk mengembalikan nilai-nilai Islam yang murni seperti di masa-masa Islam awal.

Warisan yang ditinggalkan oleh Sang Imam kepada Umat Muslim mempunyai kesan yang mendalam dan abadi, dimana karya-karya Beliau menjadi rujukan Umat terutama di kalangan Sunni. Hal ini bisa dilihat seperti contohnya pesantern-pesantren di Indonesia, Buah karya Beliau seperti Bidayatul Hidayah (Permulaan Hidayah) dan Ihya Ulumiddin (Menghidupkan Kembali Ilmu-Ilmu Agama) dipelajari secara komprehensif.

Minggu, 20 Januari 2013

Prinsip Ajaran Islam dalam Empat Hadits

Syair yang  dilantunkan oleh A-Hafidz Abul Hasan Thahir bin Mufawwiz Al-Muafiri Al-Andalusi, seorang Imam, pakar hadits yang  wara' dan  tentu dipercaya oleh Allah SWT sebagai  lumbungnya ilmu. 

"Landasan agama menurut kami
Adalah empat kalimat dari sabda manusia terbaik
Yaitu jauhilah syubhat, zuhudlah,
Tinggalkan apa yang tidak ada manfaatnya bagimu,
dan berbuatlah dengan niat."

Dalam Kitab Al-Ikhlas wan Niyat, Ibnu Abu Ad-Dunya meriwayatkan dengan sanad terputus dari Umar bin Khaththab ra yang berujar, "Amal perbuatan terbaik ialah mengerjakan apa yang diperintahkan Allah Azza wa Jalla, menjauhi apa yang dilarang-Nya, dan niat yang benar terhadap apa yang ada di sisi-Nya". Ini karena ajaran agama terfokus pada mengerjakan perintah, meninggalkan larangan dan berhenti dari syubhat. Dalam riwayat lain dikisahkan bahwa Abu Daud yang telah menulis Hadits sebanyak 500.000 hadits dan menyeleksinya sehingga tinggal sekitar 5000 hadits yang termuat dalam As-Sunan, berkata: "Prinsip-prinsip sunan dalam segala bidang adalah empat hadits:

  1. Sesungguhnya seluruh amal perbuatan itu dengan niat.
  2. Halal itu jelas dan haram juga jelas.  
  3. Di antara kebaikan keislaman seseorang ialah ia meninggalkan sesuatu yang tidak berguna baginya.
  4. Zuhudlah di dunia, niscaya Allah mencintaimu. Dan zuhudlah terhadap apa yang ada di tangan manusia, niscaya mereka mencintaimu."



Al-Farabi dan Filsafat Yunani Klasik


Al-Farabi  dengan nama lengkap ابونصر محمد بن محمد فارابی / Abū Naṣr Muḥammad ibn Muḥammad Fārābī (870 M-950 M) lahir di Wasij distrik Farab sebuah derah di Transoxiana  dan wafat di Damaskus. Dunia Barat mengenalnya sebagai Alpharabius. Al-Farabi dikenal sebagai filsuf muslim yang terlahir di Era Kejayaan Kekhalifahan Islam. Beliau dijuluki  al-muallim al-tsani "Guru kedua" kaitannya dengan Aristoteles yang dipandang sebagai al-muallim al-awwal "Guru Pertama". Filsafat Al-Farabi memang lanjutan dan interpretasi dari Filsafat Yunani Klasik terutama Aristoteles. Karya-karya Al-Farabi tidak hanya berupa syarah  dari karya-karya Yunani Klasik tetapi juga berupa karya orisinal hasil dari penggalian makna dan interpretasinya terhadap karya-karya Yunani tersebut.

Terjemah Latin Ihsha' al-Ulum oleh Gerard dari Cremona
Terjemah Ihsha' al-Ulum

Al-Farabi adalah orang muslim pertama yang memperkenalkan pemakaian "logika" (mantiq) dalam dunia intelektual Islam. Karya-karyanya dalam hal ini antara lain: Kitab al-Huruf dan Kitab Alfazh al-Musta'malah fi al-Mantiq. Lewat Ihsha' al-Ulum Al-Farabi juga melakukan klasifikasi ilmu, di Barat kitab ini diterjemahkan oleh Gerard dari Cremona dalam Bahasa Latin sebagai De Scientiss. Ihsha' al-Ulum sebuah karya yang mempengaruhi Cendikiawan Muslim setelahnya seperti Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, dan Al-Ghazali dalam usahanya mengklasifikasikan ilmu. Al-Farabi juga kemungkinan menjadi orang pertama yang bereksperimen tentang adanya vakum, Risalah fi al-khala (risalah tentang hampa udara). Dalam bidang Psikologi Sosial, Al-Farabi berpendapat bahwa:  "seorang individu yang terisolasi tidak bisa mencapai semua kesempurnaan sendiri, tanpa bantuan orang lain". Karya lainnya yang tak kalah fenomenal adalah sebuah karya di bidang musik Kitab al-Musiqa al-Kabir, sebuah karya dari pengembangan teori yang dilakukan  Al-Farabi di bidang Matematika (Phytagoras dan Ptolemeus). Menurut Sayyid Hossein Nasr dan Mehdi Aminrazavi, Kitab al-Musiqa sebenarnya adalah studi tentang teori musik Persia pada zamannya meskipun di Barat telah diperkenalkan sebagai sebuah buku tentang musik Arab . Dia menyajikan prinsip-prinsip filosofis tentang musik, kualitas kosmik dan pengaruhnya. Risalah mengenai Makna Akal ditangani dengan terapi musik, dimana Al-Farabi membahas terapi efek musik pada jiwa.
Al-Farabi merupakan salah satu tokoh Filsafat Islam yang menggali Filsafat Yunani dan menghasilkan sebuah kerangka pemikiran yang mampu memberikan topangan logis bagi ajaran-ajaran dasar Islam.  Al-Farabi, Khwarizmi dan Cendikiawan Muslim lainnya yang hidup di Era Keemasan Islam tidak ragu untuk memunguti hikmah dan ilmu pengetahuan yang tersebar di berbagai Bangsa seperti Yunani, India, Cina, dan yang lainnya dengan keyakinan bahwa kebenaran hanyalah satu dan berasal dari Allah SWT. "Hikmah adalah harta benda umat yang hilang dan wajib dipungut dimanapun ditemukannya", yang diyakini sebagai Sabda Nabi. Mungkin dengan semangat untuk mencari hikmah di seluruh penjuru bumi ini, Umat muslim dapat kembali meraih masa-masa emasnya bukan hanya sekedar mengenang kejayaan di masa lampau.

Jumat, 18 Januari 2013

Khwarizmi, Salah Satu Ilmuwan Besar Muslim

Muḥammad ibn Musa al-Khwarizmi lahir di Khawarazm pada tahun 780 M di Masa Dinasti Abbasiyah Bagdad. Beliau memiliki sumbangsih yang sangat berarti pada perkembangan ilmu pengetahuan di masa itu utamanya di bidang Astronomi, Geografi, dan Matematika.  Aljabar yang kita kenal sekarang ini merupakan buah karya al-Khwarizmi dan diambil dari sebuah kata dari judul bukunya al-Kitab al-Mukhtasar fi hisab al-jabr wal-Muqabala (al-jabr berarti "selesai" atau "mengurangi jumlah dari kedua sisi persamaan"). Sebuah buku yang berisi tentang perhitungan  penuh dengan contoh dan aplikasi untuk berbagai macam masalah dalam perdagangan, survei dan warisan hukum. Di masa Renaisance Eropa Buku ini diterjemahkan sebagai Liber algebrae et almucabala. Khwarizmi juga merupakan orang yang sangat bertanggung jawab dalam penggunaan angka 0 (nol) yang berasal dari peradaban India Hindu. 

Kitab Surat Al-Ard (Arab: كتاب صورة الأرض  "Buku tentang penampilan bumi" atau "Citra Bumi" diterjemahkan sebagai Geografi ) merupakan karyanya dalam bidang Geografi. Khwarizmi melakukan revisi atas Geografi Ptolemy yang terdiri dari daftar 2402 koordinat kota dan fitur geografis lainnya. Sebuah terjemahan Latin disimpan di Biblioteca Nacional de España di Madrid, sebagai Kitab penampilan bumi, dengan kota-kota, pegunungan, laut, semua pulau dan sungai, ditulis oleh Abu Ja'far Muhammad bin Musa al-Khwarizmi.

Kalilah wa Dimnah, Fabel Kearifan dari India untuk Dunia

Sebuah Halaman dari Kalilah wa Dimnah

Kalilah wa Dimnah merupakan fabel buah karya Ibn Al Muqaffa dari terjemahan Kalile van Demneh versi Persianya Pañcatantra ( पञ्चतन्त्र , پنچ تنتر ). Sebuah fabel kuno dengan bahasa sansekerta dan merupakan karya sastra dari India Kuno (Sekitar jamannya Iskandar Agung). Kalilah wa Dimnah muncul di Era keemasannya Kekalifahan Abassiyah dan dianggap sebagai karya prosa klasik Arab pertama. Hal ini dikarenakan Bangsa Arab pada mulanya kurang meminati Prosa, mereka lebih senang dengan syair-syair dan puisi.

Relief Pancatantra di Candi Mendut
Brahmana dan Kepiting


Kalilah wa Dimnah mengandung hikmah kehidupan yang meliputi dimensi sosial politik, dan agama. Sebagai kisah fabel tentu saja Kalilah wa Dimnah banyak mengandung perumpamaan kehidupan manusia dan mudah difahami oleh orang-orang umum selama 2000 tahun lebih. Begitu mendunianya fabel dari India ini sehingga banyak diterjemahkan dengan berbagai bahasa di seluruh dunia. Eropa mengenalnya tentu saja lewat Andalusia dan termasuk karya yang mula-mula dicetak oleh Guttenberg setelah Alkitab. Jawa yang mendapat pengaruh Hindu dan Budha dari India, sudah mengenal fabel ini sejak sebelum tahun 824 M. Relief-relief di Candi Mendut banyak yang menggambarkan kisah-kisah  Pañcatantra.

Selasa, 15 Januari 2013

Kegigihan Seorang Thomas Alva Edison


Gagal, gagal, ........ dan gagal, jika titik-titik tersebut diisi dengan kata gagal sebanyak 1000 kata, tentu bukan hanya membosankan bagi yang menulisnya tapi juga akan sangat membosankan bagi yang membacanya. Wajar jika seorang Thomas Alva Edison juga dihinggapi kebosanan yang konon pada saat hendak menemukan lampu pijar dia harus mengalami lebih dari 1000 kali percobaan yang gagal. Kebulatan tekadnya untuk terus mencoba  menemukan lampu pijar  sekalipun harus menghadapi deretan kegagalan telah menghantarkan kesuksesan bagi Thomas A Edison untuk mempersembahkan temuan teknologi yang sangat bermanfaat berupa bola lampu pijar yang dapat diproduksi secara masal.


Thomas A Edison memang bukan orang pertama yang bereksperimen dengan bola lampu pijar, (1) sebelumnya telah banyak ilmuwan lainnya yang telah lebih dulu berkutat untuk mencoba menemukan lampu pijar yang layak produksi namun semuanya menyerah dihadapkan pada hamparan gurun kebosanan dalam menghadapi percobaan-percobaan yang gagal. Di saat yang lainnya berhenti mencoba atau memutuskan untuk beralih pada penemuan lainnya, Hanya Edison yang akhirnya sanggup melintasi gurun kebosanan tersebut dan finish dengan sukses. Edison mengakui betapa pentingnya kerja keras dan tekad yang kuat dalam usahanya menemukan lampu pijar tersebut. “Saya tidak patah semangat, karena setiap usaha yang salah adalah satu langkah maju,”(2) ujaran dari Edison yang menggambarkan semangat pantang menyerahnya untuk meraih keberhasilan.

Misalkan saja Thomas Alva Edison  memerlukan 1000 kali percobaan untuk berhasil menyempurnakan penemuan bola lampu pijarnya dan dia berhenti setelah 999 kali melakukan percobaan maka ia juga akan terkategori “gagal” walaupun sudah sangat dekat dengan keberhasilan. Merenungkan proses berliku dari usaha Edison ini, teringat akan Firman Tuhan dalam Al Qur’an : “Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat kepada orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS. al-A’raf: 56). Sangat mungkin karena Edison bukan seorang muslim, dia tidak mengetahui penggalan dari ayat  yang ada dalam Al Qur’an tersebut. Allah SWT Yang Maha Pengasih rupanya berkenan memberikan keberhasilan kepada Edison untuk menyempurnakan penemuannya tersebut setelah kegigihan Edison menghadapi kegagalan demi kegagalan dan tetap tidak berputus asa dalam usahanya. Muslim seperti diriku yang mengimani Ayat-Ayat Suci Al Qur’an, sudah seharusnya untuk membuang jauh-jauh kosa kata “putus asa” dalam kamus kehidupannya karena rahmat Tuhan memang sangat dekat. Edison mengatakannya dengan, “Kegagalan itu sering dialami oleh orang yang tidak sadar betapa dekat jarak dirinya dengan keberhasilan yang ia inginkan ketika ia memilih putus asa”.

Catatan Kaki:
(1). inventors
(2). wikipedia

Minggu, 13 Januari 2013

Cintaku Kandas Gara-Gara AA Gym Poligami


Bukan karena ingin menisbatkan kekesalanku kepada AA Gym yang berpoligami, tapi saat itu hampir tiap saat melalui berita ataupun infotainment selalu muncul AA Gym dan Teteh-Tetehnya. Belum pernah rasanya dalam sejarah negeri ini “kasus poligami” begitu menyita perhatian publik yang begitu besar. Mungkin karena sekarang Era Informasi, di mana opini publik dapat dibentuk oleh media massa dengan acara infotainmentnya. Walaupun Ceramah AA Gym cukup menyejukkan hati, tapi aku ndak ngefans sama AA, sesekali aku hanya liat Tauziahnya di TV. Aneh rasanya melihat begitu banyak orang yang mengagumi  dan tiba-tiba banyak orang yang mencercanya. Seperti sudah melakukan perbuatan yang sangat keji layaknya koruptor yang merugikan negara begitulah mungkin kira-kira yang menimpa AA Gym  saat itu.

Usiaku saat itu 28 tahun dan sedang menjalani hubungan ke arah yang lebih serius dengan seorang wanita pujaan hati. Wati  Guru Kimia di sebuah MTs, seorang lawan bicara  menyenangkan yang dapat aku temui di Pedalaman Kalimantan dan sangat jauh dari Bandung dimana  AA Gym berada. Kami sudah sekitar setengah tahun menjalin hubungan dan sudah saling kenal satu sama lainnya.

Bincang-bincang ringan tentang ikatan kimia, pengaruh zat terlarut terhadap titik didih cairan dan aahh tak jauh dari itulah obrolan kami saat itu. Obrolan kami terhenti saat ibunya pulang dari tempat pengajian mingguan ibu-ibu kampung. Seperti biasa aku menyalami dengan takjim “calon mertuaku”. Ntah karena melihat infotainment ataupun karena topik pengajian rutinnya yang membahas tentang poligami, tak seperti biasanya Ibunya Wati membuka obrolan denganku dengan pertanyaan pembuka yang langsung serius. “Setujukah Mas Heri dengan poligami seperti yang dilakukan oleh AA Gym?” Beliau memanggilku Mas Heri, mengikuti cara Wati memanggilku. Aku ndak menyangka akan mendapat pertanyaan seperti ini dari Ibunya Wati. Kenapa pertanyaannya ndak “Benarkah poligami menurut syariat Islam?”  tentu akan lebih mudah buatku untuk menjawabnya. Untuk beberapa saat aku hanya diam dan bingung untuk menjawabnya.
Sebenarnya aku sudah menduga jawaban yang diinginkan oleh Ibunya Wati. Sebagai seorang ibu tentu beliau menginginkan Putri bungsunya bisa membina sebuah keluarga sakinah tanpa embel-embel poligami. Aku berada dalam dilema untuk menjawab pertanyaan singkat tapi tentu punya dampak besar dalam kehidupanku. Aku merasa seperti menghianati nuraniku kalau aku jawab tidak setuju sedangkan dalam pengetahuanku, poligami diperbolehkan menurut syariat walaupun masih dengan syarat. Setuju? Rasanya seperti mengikrarkan diri bahwa suatu saatnya nanti jika aku sudah menikahi anaknya maka aku akan melakukan poligami juga seperti AA Gym. Jangankan poligami pikirku, mencari satu orang wanita saja untuk menjadi jodohku rasanya sangat sulit, seperti lagunya Wali “cari jodoh”. Intinya aku tak punya pikiran untuk poligami, dalam mimpi-mimpi indahku tentu aku ingin punya keluarga kecil harmonis dan normal seperti kebanyakan teman-temanku, poligami? Ndak kebayang deh. Akhirnya harus aku jawab juga pertanyaan Ibu ini, dengan sedikit melingkar dan tidak to the point, “Aku ndak berniat dan ndak kepikiran sama sekali untuk berpoligami tetapi poligami memang dibolehkan oleh syariat Islam walaupun dengan syarat-syarat tertentu, aku pikir AA Gym ndak menyalahi syariat Islam”. Walaupun aku ndak bilang secara langsung bahwa aku setuju, tapi aku rasa aku sudah cukup puas dengan jawabanku  yang aku anggap sudah merupakan jalan tengah dan sudah melewati kompromi dengan akal dan hatiku.

Kulihat wajah Wati penuh dengan kekuatiran, dia tahu bahwa ibunya tak puas dengan jawabanku. Aku yakin Wati sangat mengerti dengan maksud dari jawabanku. “Bearti Mas Heri setuju donk dengan poligami, padahal apa baiknya poligami?” Pertanyaan-pertanyaan selanjutnya dari Ibunya Wati dan bantahannya Beliau atas semua argumentasi yang aku sampaikan sudah seperti Sidang di mana aku si terdakwa dan beliau Jaksa Penuntu Umum. Aku masih ingat sampai sekarang waktu aku berkata dengan nada tanya yang terdengar seperti suara orang yang hampir putus asa, “Bukankah lebih baik poligami daripada melacur?” Menurutku sudah menjadi kebenaran umum bahwa poligami tentu lebih baik daripada melacur yang merupakan perbuatan zina dan jelas dilarang oleh Agama manapun juga. “Ya jelas mending melacur daripada poligami karena kalau melacur hanya sesekali waktu sedangkan poligami berlangsung lama dalam kehidupan berkeluarga”. Shock aku mendengar jawaban dari “calon mertuaku”, dan beliau juga jelas lebih shock lagi dengan segala argumentasiku tentang poligami.

Tak perlu menunggu lama, malam harinya aku ditelpon oleh Wati, dia mengatakan bahwa hubungan kami tak bisa dilanjutkan karena Ibunya tak merestui. Hampa, yaa seperti itulah rasanya kalau sedang patah hati. Ntah karena aku yang naif, tapi aku merasa lega bisa mengatakan apa yang menurutku benar maka katakanlah itu benar walaupun harus menyakitkan dan kehilangan orang yang kita cintai.

Santi Tetanggaku, Mantan Ratu Wanita Malam


Kisahnya dimulai saat aku baru mulai bekerja dan tinggal di perumahan yang aku sewa, saat itu aku punya tetangga seorang wanita single parent dengan satu orang anak usia sekitar 10 tahunan. Santi, Sang Ibu berusia 32 tahun dan yang aku ketahui dia sedang tak punya pekerjaan untuk membiayai kehidupan keluarga kecilnya. Mungkin karena Ibu ini tetangga yang aku kenal dan sangat mungkin karena aku tertarik dengan kisah hidupnya, aku sering bertamu ke rumahnya tuk  mendengarkan kisah hidupnya dan terutama untuk  menawarkan beberapa batang Sampoerna Mild yang biasa aku hisap. Awalnya aku risih juga melihat seorang ibu yang mencandu rokok apalagi merokoknya di depan anaknya, tapi akhirnya aku kasian juga saat aku melihat dia menyalakan rokok yang diambilnya dari asbak dan sebelumnya ternyata dia sengaja menyisakannya untuk dia hisap kembali sebagai tindakan penghematan rokok yang dia lakukan. Berhemat bukan karena mau berhenti merokok tapi karena kondisi keuangannya yang memprihatinkan. Aku sengaja selalu meninggalkan bungkus rokokku yang masih tersisa beberapa batang jika aku pulang dari rumahnya.

Santi cerai dengan suaminya saat anaknya baru lahir, aku menduga pemicunya paling-paling soal ekonomi. Untuk menghidupi dirinya setelah cerai, Santi berusaha untuk mendapatkan pekerjaan yang menurutnya layak untuk lulusan SMA seperti dirinya. Sepertinya klasik, dia ditawari pekerjaan yang katanya penghasilannya lumayan bagus disebuah  diskotik sebagai pramusaji oleh seorang laki-laki yang dikenalnya. Santi sebenarnya merasa tertipu oleh laki-laki ini karena dari situlah akhirnya Santi menjalani kehidupannya sebagai wanita malam dengan semua atribut kelamnya. Tertipu atau tidak, tapi aku rasakan dari caranya bercerita sepertinya Santi cukup menikmati kehidupan masa lalunya. Dia bangga menjadi Ratu Diskotik bak “Sang Diva” yang penuh dengan persaingan dengan wanita-wanita cantik lainnya. Rumah yang sekarang ditempati merupakan hasil dari pekerjaannya tersebut. Aku kenal dengan Santi saat ia sudah berhenti dari profesinya karena memang sudah afkir dan dianggap sudah terlalu uzur. Sesekali memang masih ada pelanggan setianya yang datang ke rumah.

Di ruang tamunya tempat kami biasa berbincang dan menghembuskan asap rokok yang membuat suasana menjadi pengap, tak ada sedikitpun kerling mata nakal Santi terhadapku. Ia sepertinya mengerti kalau aku memang bukan calon langgannya yang potensial. Ternyata mantan “Pelacur” sekalipun hanyalah manusia biasa yang masih punya sopan santun tidak sembarangan menggoda laki-laki yang ada di depannya. Setelah huhisap dalam-dalam dan kuhembuskan asap rokokku perlahan, sebuah pertanyaan meluncur dari mulutku, “Saat ini, setelah semua yang Mba’ lalui, adakah Mba’ pernah menyesal dengan yang Mba’ lakukan?” Aku hanya tersenyum getir saat Santi menjawab pertanyaan bodohku tersebut, “Aku sangat menyesal, seandainya saja aku tahu betapa gampangnya mencari duit dengan jalan seperti itu, tentu aku akan melakukannya sejak umurku masih belasan tahun, aku masuk sudah berusia 25 tahun dan sudah sangat terlambat”. 

Kata-Kata Mutiara


Kata-kata mutiara yang banyak kita dapatkan dari berbagai sumber referensi dapat memberikan hikmah yang sangat berharga dalam kehidupan ini jika kita mau merenungkannya walau hanya sesaat. Berikut beberapa kata-kata mutiara yang penuh dengan hikmah, sedikit dari yang dapat dihimpun dalam tulisan ini dan semoga bermanfaat untuk kita semua.

  1. “Usahamu untuk mengetahui aib-aib yang tersembunyi dalam dirimu adalah lebih baik daripada berusaha menyingkap perkara gaib yang tersembunyi darimu.” (Al-Hikam, Syaikh Ibn ‘Atha’illah as-Sakandari)
  2. “Kegagalan itu sering dialami oleh orang yang tidak sadar betapa dekat jarak dirinya dengan keberhasilan yang ia inginkan ketika ia memilih putus asa.” (Thomas AlfaEdison)
  3. “Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat kepada orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS. al-A’raf: 56)
  4. “Orang-orang yang menyayangi akan disayangi oleh Yang Maha Penyayang.” (HR Abu Daud, Turmudzi dan Ahmad) 
  5.  “Jadilah kamu manusia yang pada kelahiranmu semua orang tertawa bahagia, tetapi hanya kamu sendiri yang menangis dan pada kematianmu semua orang menangis sedih, tetapi hanya kamu sendiri yang tersenyum.”(Mahatma Gandhi)

Sabtu, 12 Januari 2013

Mengenang Masa-Masa Munculnya Para Cendikiawan Muslim


بســــم الله الرحمن الرحيم

Di masa emasnya Kekhalifahan Islam, banyak bermunculan cendikiawan-cendikiawan muslim dari berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Umat muslim di masa-masa itu tidak hanya menguasai ilmu-ilmu agama saja tetapi juga menjadi pelopor di hampir setiap cabang ilmu lainnya. Kita mengenal Al Kwarizmi di bidang matematika, Ibnu Sina yang oleh Dunia Barat dikenal dengan nama Avicenna sebagai pelopor di bidang kedokteran, untuk Filsafat ada Al-Kindi dan banyak lagi cendikiawan muslim lainnya yang telah mendedikasikan hidupnya untuk Ilmu Pengetahuan.

Age of the Caliphs
  Expansion under Muhammad, 622–632/A.H. 1–11
  Expansion during the Rashidun Caliphate, 632–661/A.H. 11–40
  Expansion during the Umayyad Caliphate, 661–750/A.H. 40–129
Kekhalifahan Islam yang saat itu wilayahnya terentang cukup luas dari mulai daratan India di sebelah Timur sampai Cordova Spanyol di belahan bumi Barat, menjadi sangat gemerlap dikarenakan penguasaannya terhadap ilmu pengetahuan bila dibandingkan dengan Eropa yang saat itu sedang dalam abad kegelapan karena jauhnya dengan ilmu pengetahuan. Umat muslim saat itu sepertinya tidak melakukan pemisahan (Dikotomi) antara Ilmu Agama dengan Ilmu Pengetahuan Umum lainnya. Mereka sangat menjunjung tinggi Pengetahuan, ke mana saja pasukan muslim bergerak maka mereka juga membawa buku-buku berharga sebagai rampasan perang yang selanjutnya mereka terjemahkan dan mereka pelajari dengan seksama dan mengembangkannya lebih lanjut. Dari India mereka mendapatkan pengetahuan kuno kompilasi pengetahuan Budaya Hindu yang sudah berabad lamanya seperti bilangan nol (0) dan Astronomi. Dari Cina tentu saja pengetahuan tentang pembuatan kertas yang pada akhirnya mempermudah dan mempercepat penyebaran pengetahuan di kalangan umat. Dari sebelah barat tentu saja mendapat warisan dari pemikiran-pemikiran Bangsa Yunani yang pernah mengalami masa-masa jaya di jamannya Phytagoras, Archimides, Plato, Aristoteles, dll.

Sejak mulai runtuhnya Kekhalifahan Islam yang dimulai dari lepasnya Cordova sampai terakhir hilangnya Turki Ottoman dari peta dunia dan berpindahnya kepemimpinan penguasaan ilmu pengetahuan ke Eropa, Umat Islam saat ini seperti terpinggirkan dari kata “Peradaban”. Teringat akan kalimat: “Berjumlah banyak tetapi seperti buih di lautan”, terombang-ambing dan tersapu oleh gelombang kehidupan. Mungkin Umat Muslim akan kembali bermartabat dan terhormat dalam pergaulan dengan umat-umat lainnya di muka bumi ini jika Umat ini kembali menanamkan kecintaannya terhadap Ilmu Pengetahuan seperti para pendahulunya di masa Kejayaan Kekhalifahan Islam. Seperti nasehat dari Seorang Khalifah Bani Umayyah (Abdul Malik bin Marwan) kepada anak-anaknya, “Anak-anakku, carilah ilmu. Jika kalian bermartabat tinggi, maka kalian akan berada di atas. Jika kalian menjadi orang-orang biasa, maka kalian akan bermartabat pula.”

Senin, 07 Januari 2013

Deret Ukur dan Dongeng Asal Mula Catur



Kresna dan Radha bermain Chaturanga di atas 8x8 Ashtapada
Alkisah pada ribuan tahun lalu, hidup seorang Raja Muda yang memerintah sebuah negeri yang makmur dan damai sentosa Loh Jenawi. Sang Raja  hidup dalam gelimang harta dan sangat dicintai oleh rakyatnya. Siapa sangka, Sang Raja yang sepertinya tak mengenal kosa kata “galau” karena semua hasrat hidupnya terpenuhi, nampak sedih bermuram durja. Ooohh rupanya Sang Raja bosan dengan semua permainan di waktu luangnya. Berburu kijang atau memanah apel yang ditaruh di atas kepala pelayannya, hal-hal seperti itu sudah terlalu sering dilakukannya. Saat itu tentu belum ada game online ataupun play station. Mengetahui Rajanya bosan dengan semua permainan yang sudah dikenal, pihak kerajaan akhirnya mengadakan sayembara ke seantero negeri. “Siapa saja penduduk negeri yang dapat menyenangkan Sang Raja lewat permainannya maka akan diberi hadiah yang berlimpah”. Sejak sayembara dimulai, sudah banyak rakyat dari seluruh penjuru negeri yang mencoba peruntungannya namun belum juga ada yang bisa membuat Sang Raja tertarik dengan permainan-permainan yang dipersembahkan kepadanya.

Chess Online
Seperti layaknya film India 1990an, tentu Jagoannya baru muncul di saat-saat genting. Akhirnya datang seorang Cendikia Bijak dengan membawa seperangkat permainan yang kita kenal dijaman kita dengan nama “Catur”. Sang Raja diberitahu  semua aturan permainannya dan untuk menarik perhatian Sang Raja, babak pertama permainan catur antara Sang Raja vs Cendikia dimenangkan oleh Sang Raja. Tentu saja Sang Cendikia sengaja tuk mengalah agar Raja bisa mulai tertarik dengan permainan yang dibawanya. Singkat cerita, akhirnya Sang Raja merasa sangat puas dengan permainan baru yang dibawa oleh Sang Cendikia tersebut. Menepati janjinya, Sang Raja akhirnya menanyakan hadiah apa yang bisa diberikan kepada Sang Cendikia. Ternyata yang diminta oleh Sang Cendikia hanyalah berupa bulir-bulir padi dalam tumpukan-tumpukan sebanyak tumpukan sesuai dengan jumlah kotak yang ada dalam papan catur (64 kotak). Tumpukan pertama sebanyak 1 bulir padi, tumpukan ke-2 berisi 2 bulir padi, tumpukan ke-3 berisi 4 bulir padi, begitu seterusnya sampai tumpukan ke-64, tumpukan berikutnya selalu berisi 2 kali lipat bulir padi dari tumpukan sebelumnya.

Tanpa pikir panjang, Sang Raja menyetujui permintaan Sang Cendikia yang hanya meminta tumpukan-tumpukan padi sebanyak jumlah kotak dalam papan catur yang masih bisa terhitung berjumlah 64, Toh hanya padi yang banyak terdapat di lumbung kerajaannya dan bukan emas atau permata yang tak ternilai harganya. Seandainya Sang Cendikia ini meminta dibuatkan papan dan bidak catur dari emas dan permata sekalipun tentu akan dikabulkan juga permintaannya, pikir Sang Raja. Para Punggawa kerajaan akhirnya mulai menghitung bulir-bulir padi untuk diberikan sebagai hadiah kepada Sang Pemenang Sayembara, namun sampai habis bulir padi di lumbung kerajaan bahkan sampai seluruh bulir padi di seantero negeri dikumpulkan tak juga bisa mencukupi untuk memenuhi permintaan Sang Cendikia.

Gue harus bilang wooowww gitu? Memangnya berapa bulir padi yang diperlukan yaa? Mari kita hitung!
Bulir padi yang diperlukan = 1 + 2 + 4 + 8 + 16 + 32 + dst (merupakan deret ukur) bisa kita ganti dengan deret                = 20 + 21 + 22 + 23 + 24 + 25 + .......+ 263 .
Waaahhh, untungnya ada Microsoft Excel di era kita, dan hasilnya adalah
18.446.744.073.709.600.000 bulir padi. Jika bulir padi kita ganti dengan satuan mata uang yang kita kenal "Rupiah" (1 bulir padi = 1 Rupiah), yang mana nilai 1 Rupiah sangatlah kecil akan tetapi terasa sangat banyak saat harus menyebut Rp 18.446.744.073.709.600.000,- (lebih dari 18 juta trilyun rupiah, bandingkan dengan APBN Indonesia tahun 2012 yang bekisar 1500 trilyun rupiah).

Rabu, 02 Januari 2013

Derita Rindu

Betapa engkau tak ubahnya diriku
jauh dan terpencil pengasingan,
Lama terpisah dari keluarga dan teman-teman
Engkau tumbuh dari tanah yang asing bagimu
Dan Aku, seperti engkau, pun jauh dari kampung halamanku.

Puisi tersebut adalah rintihan dari Abd al-Rahman "al-Dakhil" (Sang Pendatang), gubahan puisi tentang pohon-pohon kurma yang ia tanam di Spanyol (Andalusia) negeri asing yang ia kuasai setelah terusir dari Damaskus. Al-Dakhil seorang Pangeran Bani Umayyah yang selamat dari tragedi pembantaian yang dilakukan oleh Bani Abbasiyah. Di usia yang masih sangat muda ia terpaksa lari dan sembunyi di pengasingan. Berbilang tahun setelahnya saat ia menjadi Penguasa di Andalusia, kenangan akan kampung halaman dan keterasingannya terpancar dari puisi gubahannya yang terasa indah sekaligus menyayat hati. Derita rindu yang tak terperihkan dalam "keterasingan".

Karena Cinta

Cinta, sebuah kata dengan definisi yang seakan tak bertepi. Berjuta kalimat seakan tak pernah cukup untuk mengurai maknanya. Pujangga dari berbagai Bangsa dan jaman tak pernah kehabisan inspirasi untuk menggoreskan pena dan menuangkan tinta di lembaran-lembaran yang terjilid di "Kitab Cinta" milik umat manusia sepanjang masa. Karena cinta, Negeri Alengka yang megah menjadi puing berserak kala Rama dan bala tentaranya menyerbu Negeri Para Raksasa itu untuk merebut kembali Dewi Sinta dari tangan Rahwana. Dibalik Pegunungan Hindukush, melintasi gurun panasnya Bangsa Arab, di Laut Aegea berlayar ribuan kapal berisi seluruh Pejuang Bangsa Yunani dengan hasrat meluluhlantakkan Benteng Troya dan energi yang menggerakkannya tak lain karena kecantikan sang putri "Helen of Troy". Cinta pula yang membuat Majnun & Laila melegenda dari Negeri 1001 Malam Bagdad. Cinta yang menjadi ruh dalam untaian syair-syair Masnawi "Sang Sufi"  Jalaluddin Rumi. Romeo & Juliet yang berakhir tragis dalam drama cintanya Shakespeare. Tak terhitung karya sastra dan jutaan lagu bertema cinta yang dapat kita nikmati. Puisi & Prosa karya Kahlil Gibran sampai lagu dangdut "Cinta yang direkayasa" senandungnya Camelia Malik. 

"Umatku, umatku, umatku"; Kalimat yang terucap oleh Muhammad SAW sesaat sebelum ajalnya menjemput. Betapa besarnya rasa cinta kepada umatnya hingga sampai saat akhir kehidupanpun "Sang Manusia Terpilih" masih sangat merisaukan keselamatan umatnya. Aku yang kerdil dan fakir, yang miskin pengetahuan akan arti cinta, hanya bisa menghaturkan Sholawat dan Salam untukmu Yaa Rasul.