Teori BAPNS memang menarik,
terutama kaitan angka-angka matematis borobudur dengan angka di Ayat-ayat suci
Al-Qur’an. Apakah ini suatu kebetulan ataukah memang para arsitek borobudur bekerja
dengan angka-angka magis? Apapun jawabannya, Untuk mengatakan bahwa “Candi
Borobudur adalah peninggalan Nabi Sulaiman” rasanya sama saja seperti “Bangunan
piramida suku Maya atau Aztec adalah peninggalan Peradaban Mesir”. Terpaut
jarak dan zaman yang jauh di antara keduanya.
Fakta sejarah: Sulaeman adalah
seorang Nabi & Raja dari Bani Israel di Timur Tengah sana yang diperkirakan
hidup sekitar tahun 1000 SM. Pada saat itu sangat mungkin nenek moyang orang
Jawa belum ada di Pulau Jawa. Kalaupun sudah ada, mereka baru datang dan belum
mampu mendirikan peradaban dan belum memasuki jaman Sejarah. Borobudur sendiri
dibangun pada masa Kerajaan Mataram Kuno oleh Dinasti Syaelendra (Nenek
moyangnya Ratu Boko) pada sekitar tahun 800 atau 900 Masehi.
Logikanya: Jika Borobudur adalah
peninggalan Nabi Sulaeman maka Nabi Sulaeman haruslah Orang Jawa dan bukan dari
Bani Israel. Atau paling tidak, kerajaan yang dipimpin oleh Nabi Sulaeman
bukanlah kerajaan Yahudi di Timur Tengah melainkan harus sebuah kerajaan di
Pulau Jawa dan pada waktu 1 millenium SM. Faktanya, bukti-bukti sejarah tidak
mengatakan hal-hal seperti itu.
Relief di dinding-dinding
Borobudur yang konon mengisahkan Nabi Sulaeman & Ratu Seba (anggap hal ini
benar), tidak serta merta bisa dijadikan claim bahwa Borobudur dari jamannya
atau bahkan peninggalannya Nabi Sulaeman. Semisal saat ini saya menulis sebuah
buku tentang Kisah Nabi Sulaeman, lalu beberapa puluh tahun kemudian cucu
buyutku mengklaim bahwa buku warisan yang dia pegang adalah buku dari jamannya
Nabi Sulaeman (bahkan mengclaim bahwa buku tersebut peninggalan atau warisan
dari Nabi Sulaeman), hanya gara-gara isi buku tersebut menceritakan kisah
tentang Nabi Sulaeman.
Kaitan dengan angka-angka magis,
Orang Jawa memang ahlinya dalam hal ini. Apa yang tidak di itang-itung oleh
orang Jawa. Mau nikah, cari rejeki, dll hitung dulu hari baiknya, hitung dulu
jam berapa keluar rumahnya, dan tetek bengek lainnya. Bisa dibayangkan
bagaimana Nenek Moyang di jaman dulu membangun proyek sebesar Borobudur, tentu
mereka akan melakukan perhitungan-perhitungan dengan sangat teliti dengan ilmu
mereka. Penulis (kebetulan Jawa), membayangkan jika hidup di jaman itu dan
berperan sebagai arsitek Borobudur, sebelum pembangunan tentu saja membuat
cetak biru dan melakukan kalkulasi2 berdasarkan ilmu-ilmu hitung saat itu, dan
sangat mungkin melakukan semedi untuk mendapatkan wangsit dari Yang Maha Tahu.
Sebagai umat muslim yang hidup di jaman sekarang ini, tentu saja penulis mengklaim
bahwa Agama yang benar adalah yang dirisalahkan oleh Nabi Muhammad SAW. Tapi
coba bayangkan jika kita hidup di jaman yang Risalah Islam belum sampai
terdengar atau di jaman belum adanya Risalah yang disampaikan oleh Nabi
Muhammad SAW dan kita juga bukan dari Bani Israel melainkan Suku Jawa, pada
saat seperti itu, “jalan yang Lurus” berasal dari mana? Nabi yang mana yang aku
ikuti jalannya?
25 Rasul yang wajib diketahui
kesemuanya berasal dari Timur Tengah dan sebain besar berasal dari Bangsa
Israel. Sebelum risalah kenabian ditutup oleh Nabi Muhammad SAW, apakah “Berserah
diri dan Jalan yang Lurus” hanya dimiliki oleh Bangsa Israel yang jumlahnya
hanya sedikit bila dibandingkan dengan Bangsa-Bangsa lain di muka bumi ini?
Rasanya hal itu tidak mungkin bila mengingat betapa luasnya Rahmat Allah SWT. “Dan
tidak satu pun Makhluk bergerak (bernyawa) di bumi melainkan semuanya dijamin
Allah rezekinya” (QS Hud, 11:6). Tuhan yang bahkan menjamin rejeki semua mahluk
dan yang memiliki 99 Asmaul Husna, rasanya sangat mustahil jika hanya memberi
jalan yang lurus (kebenaran) tersebut hanya kepada satu bangsa yaitu Israel. Dalam
Ayat yang lain “Dan setiap umat (mempunyai) Rasul. Maka apabila Rasul mereka
telah datang, diberlakukanlah hukum bagi mereka dengan adil dan (sedikitpun)
tidak dizalimi.” (QS Yunus 10:47).
Penulis bukan berarti ingin
mengatakan bahwa Sidharta Gautama adalah seorang Nabi yang ajarannya membentang
dari India, Cina, Kambodia bahkan sampai ke Nusantara. Hal ini tentu saja perlu
kajian yang lebih komprehensif lagi. Penulis hanya mencoba salah satu
kemungkinan atau pengandaian, “Bilamana Sidharta Gautama memang salah seorang Rasul
buat beberapa Bangsa di luar Bangsa Israel”, maka ajaran Buddha merupakan salah
satu “jalan yang lurus untuk berserah diri” sampai datangnya Risalah yang
disampaikan oleh Muhammad SAW. Urusan ajaran tersebut terdistorsi oleh karena
penyebarannya yang luas dan dalam selang waktu yang panjang, itu soal lain.
Berangkat dari pengandaian ini, dengan cara-cara yang diyaqini kebenarannya
oleh nenek moyang kita, bukankah bisa saja mereka mendapatkan pencerahan dan
pengetahuan tentang kebenaran? Apalagi jika hanya tentang angka-angka magis
dalam bangunan Borobudur.